Tafsir Ahkam Tentang "KAFALAH"

"KAFALAH"

 Fikih muamalah sebagai hasil dari. pengolahan potensi insani dalam memperoleh sebannyak mungkin nilai-nilai Ilahiyat, yang berkenaan dengan tata aturan hubunga antar manusia (makhluqat), yang secara keseluruhan merupakan suatu disiplin ilmu yang tidak mudah untuk difahami. Karenanya, diperlukan suatu kajian yang mendalam agar dapat memahami tata aturan islam tentang hubungan manusia yang sesungguhnya.
                        Oleh karena itu, pemahaman terhadap fiqh muamalah sangatlah bagi kehidupan manusia. Hal ini disebabkan fiqh muamalah merupakan aturan yang menjadi pengarah dan penggerak kehidupan manusia. Fiqh muamalah n menjadi salah satu unsur perekayasaanaturan mengenai hubungan antar umat manusia.
                        Disamping itu, fiqh muamalah sebagai disiplin ilmu akan terus berkembang dan harus berkembang. Perkembangan tersebut sangat tergantung pada perkembangan manusia dan umat islam khususnya. Dalam hal ini perkembagan tatana manusiasangat berpengaruh pada perekayasaan fiqh muamalah sehingga dapat dipubliksikan dalam segala situasi dan kondisi tatanan kehidupan manusia itu sendiri.

A. Teks Yu>suf ayat 72
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy ÇÐËÈ 
B.   Terjemah Yu>suf ayat 72
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”.[1]

¾ÏmÎ/ uä!%y`
dapat mengembalikannya
`yJÏ9ur
dan siapa
Å7Î=yJø9$#
Raja
tí#uqß¹ßÉ)øÿtR  Kami kehilangan piala
(#qä9$s%
Penyeru-penyeru   itu berkata
 [2] ÒOŠÏãy¾ÏmÎ/
menjamin terhadapnya
O$tRr&ur
dan aku
9ŽÏèt/
bahan makanan (seberat) beban unta
ã@÷H¿q
akan memperoleh

C.  Tafsir al- Mufradāt
صواع
Berarti tempat minum. Ia pasti terbuat dari bahan istimewa, karena milik Raja.[3]
العير
Pada mulanya berarti unta, kemudian maknanya berkembang sehingga mencakup juga pengendara dan barang yang dipikul.[4]

D.  Kandungan Ayat
1.      Pengertian
a.    Al-Kafalah menurut bahasa berarti al-D{aman (jaminan), hamalah (beban) dan za>’amah (tanggungan). Sedang menurut istilah yang dimaksud dengan al-D{aman (jaminan), hamalah (beban) adalah sebagimana yang dijelaskan oleh para ulama’ sebagai berikut:
a). Menurut madz}hab H}anafi  al-kafalah memiliki dua pengertian, pertama :
ضم ذ مة الى ذ مة فى المطا لبة بنفس او دين او عين
“menggabungkan dz}immah kepada dz}immah yang lain dengan penagihan, jiwa, utang atau za>kat benda.”
Kedua,adalah:
ضم ذ مة الى ذ مة فى اصل الدين
menggabungkan dz}immah kepada dz}immah yang lain dalam pokok (asal) utang”.[5]
b). Menurut madz}hab Ma>liki:
ان يشغل صاحب الحقّ د مّة الضامن مع ذ مه المضمون سواء كا ن شغل الذ مّة متوافقا على شيئ اولم يكون متوفقا
“orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebeannya sendiri yang disatukan, baik yang menanggungkan pekerjaan sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda.”
c). Menurut madz}hab Hambali:
التزام وجب على الغير مع بقا ئه على المضمون او التزام احضار من عليه حقّ ماليّ لصاحب الحقّ
Iltiza>>m sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta ke kekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltiza>>m orang yang mempunyai hak untuk menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempuayi hak.”
d). Menurut madz}hab Shafi’i:
عقد يقتضى الترام حقّ اثا بت فى الذ مة الغير او احضار بد ن من يستحقّ حضوره
“Akad yang menetapkan iltiza>>m hak yang tetap pada pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan za>t benda yang dibebankan ataumenghdirkan beban oleh orang yang berhak menghadirkannya”.
E.   Rukun dan sharat
Menurut madz}hab H}anafi, rukun kafalah hannya satu, yaitu, ijab dan Kabul. Sedang menurut para ulama’ yang  lainnya rukun dan sharat al-kafalah adalah sebagai berikut.
1.      D{a>minkafil, atau za>’im, yaitu orang yang menjamin berakal, dimana ia disharatkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan harta (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
2.      Mad}munlah, yaitu orang yang berpiutang, sharatnya ialah bahwa yang berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin. Mad}munlah disebutjuga dengan mafkullah, Mad}munlah disharakan dikenal oleh penjmin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, hal ini dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
3.      Mad}mun‘ahu atau makfu>l‘anhu adalah orang yang berhutang.
4.      Mad}mun bih atau makfu>lbih adalah utang, barang atau orang, disharatkan pada makfu>l bih dapat diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap.
5.      Lafadz}, disharatkan keadan lafadz} itu menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.[6]
F.   Praktek kafalah dalam ayat
1.      D{a>minيوسوف
2.      Mad}munlah: من جاء به
3.      Mad}mun‘ahuقالوا
4.      Mad}mun bih: حمل بعير
5.      Lafadz} :  انا به زعيم
G.  Macam-macam kafalah
Secara umum kafalah terbagi menjadi dua, yaitu kafalah dengan jiwa dan kafalah dengan harta. Kafalah dengan jiwa dikenal dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kemestian (keharusan) kepada pihak penjamin (al-kafil, al-d}amin atau al-za>’im) untuk menghdirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (makfu>llah).
      Penanggung (jaminan) yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya. Orang yang ditanggung tidak mesti permasalahan karena kadalah menyangkut badan bukan harta. Penanggungan tentang hak Allah, seperti h}ad al-khamar dan h}ad menuduh zina tidak sah, Nabi bersabda:
لاكفالة فى حد (روه البيهقى)
“Tidak ada kafalah dalam h}ad” (HR al-Baihaqi)
      Madz}hab Shafi’i berpendapat bahwa kafalah dinyatakan sah denganh mengh}adirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia,seperti zina dan khadaf karena dua hal tersebut menurut Shafi’i hak yang lazim. Bila menyangkut h}ad yang telah ditentukan oleh Allah, maka hal itu tidak sah dengan kafalah.
Ibnu Hazm menolak pendapat tersebut. Menjamin dengan mengh}adirkan badan pada pokoknya tidak boleh, baik menyangkut masalah harta maupun masalah h}ad. Sharat apapun yang tidak ada dalam kitabullah adalah bat}il.
      Namun demikian, sebagian ulama’ membenarkan adanya kafalah jiwa (kafalah bil al-wajh) dengan alasan bahwa rosulallah pernah menjamin urusan tuduhan. Namun menurut Ibnu Hazm bahwa h}adits yang menceritakan tentang penjaminan rasul. Pada masalah tuduhan adalah batil karena h}adits tersebut diriwayatka oleh Ibrahim bin Khaitsam bin Arrak, dia adalah d}aif dan tidak boleh diambil periwayatannya.
      Jika seseorang menjamin akan mengh}adirkan seseorang, maka ia wajib mengh}adirkannya, bila ia tidak dapat mengh}adirkannya, sedang penjamin masih hidup atau penjamin itu sendiri berhalangan h}adir, menurut madz}hab Ma>liki dan penduduk Madinah, bahwa penjamin wajib membayar utang orang yang ditanggungnya. Dalam hal ini nabi bersabda:
الزاعيم غا رم (روه ابوداود)
“Penjamin adalah kewajiban membayar”
      Sedang menurut madz}hab H{anafi  bahwa penjamin (kafil atau d}amin) harus ditahan sampai ia dapat mengh}adirkan orang tersebut atau sampai penjamin mengetahui bahwa ashil telah meninggal dunia, dalm keadaan demikian penjamin tidak berkewajibanmembayar dengan harta, kecuali penjamin mensharatkan demikian (akan membayarnya).
      Menurut Shafi’i, bila ashil telah meninggal dunia, maka kafil tidak wajib membayar kewajibannya karenan ia tidak menjamin harta, tetapi menjamin orangnya dan kafil dinyatakan bebas tanggungjawabnya.[7]
Kafalah kedua adalah kafalah harta, yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh d}amin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan berupa harta), kafalah harta ada tiga macam:
1.      Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi tanggungan orang lain, dalam h}adits Salamah bin Aqwa, bahwa Nabi tidak mau mensholatkan jenazsah yang mempunyai kewajiban membayar hutang, qatadah berkata:
صل عليه يا رسول الله وعلي دينه فصل عليه
“S{alatkanlah dan saya akan membayar hutangnya, Rasul kemudian mens}halatkannya”
Dalam kafalah utang disharatkan sebagai berikut,
a.       Hendaklah harga barang tersebut tetap pasa waktu terjadinya transaksi jaminan, seperti utang qirad}, upah dan mahar, seperti orang berkata”juallah barang itu pada si A dan aku berkewajiban menjamin pembayarannya dengan harga sekian”, maka harga penjualan barang tersebutadalah jelas. Hal ini disharatkan menuryt madz}hab Shafi’i sementara Abu H{anifa, Ma
b.       Hendaklah barang yang dijamin diketahui menurut madz}hab Shafi’i dan Ibnu Hazm, bahwa seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui, sebab itu pebuatan tersebut adalah gharar. Sementara Abu Hanifda, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa sesuatu yang tidak diketahui itu boleh.
2.       Kafalah dengan menyerahkan benda yaitu kewajiban menyerahkan benda-enda tertentu yang ada ditangan orang lain seperti mengembalikan barang yang gasab, dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, disharatkan materi tersebut yangdi jamin seperti dalam hasus tersebut, namun bila dilakukan dalam bentuk jaminan, kafalah batal.
3.      Kafalah denga ‘aib maksudnya barang yang didapti berupa harta terjual dan mendapat bahaya (cacat) karena waktu aygnterlalu lama atau karena hal-hal lainnya, maka ia (pembawa barang) sebagai jaminan untuk hak membeli pada penjal, seperti jika bukti barang yang dijual adalah barang milik orang lain atau barang tersedbut adalah barang gadai.[8]
H.  Pelaksanaan kafalah
      Al-kafalah dapat dilaksanakan dalam tiga bentuk, yaitu (a) munjaz (tanjiz), (b) mu’alaq (taqlik), (c) mu’aqat (taukit), Munjaz (tanjiz) ialah tanggungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang berkata “saya tanggung si fula>n dan saya jaminsi fula>n sekarang”, lafadz}}-lafadz}} yang menunjukkan al-kafalah menurut para ulama dalah seperti lafad: tahammaltu, takafaltu, d}omintu, ana kafil laka, ana za>ngim, hua laka ngindi, hua laka alaiya. Apabila akad penanggungan terjadi, maka penanggungan itu mengikuti akad utang, apakah harus dibayar ketika itu, ditangguhkan, atau dicicil, keculi disharatkan ada penanggungan.
      Mualak (taklik) adalah mejamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu seperti seseoarang bekata “ jika kamu mengutangkan kepada anakku maka aku akan membayarnya” atau “jika kamu ditagih pada A maka aku yang akan membayarnya” seperti firman Allah:
ولمن جاء به حمل بعير ووانا به زعيم (يوسف : 32)
“Dan barang siapa yang dapat mengembalikan piala raja, akan memperoleh bakan makanan seberat seban unta dan aku menjamin terh}adapnya.” (QS. Yusuf: 32)
Mu’qad (tauki>d) adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu, sepertiucapan seseorang, “bila ditagih pada bulan ramad}an, maka aku akan mengambil pembayaran utangmu”, menuirut madz}hab H}anafi  penganggungan seperti ini sah, tetapi menurut Shafi’i batal. Apabila akad telah berlangsung maka Mad}munlah boleh menagih kepada kafil (orang yang menanggung beban) atau kepada mad}mun‘anhu atau makfu>l‘anhu (yang berhutang), hal ini dijelaskan oleh ulama jumhur.
I.     Pembayaran d}amin
Apabila orang yang menjamin (d}a>min) memenuhi kewajiabannya dengan membayar utang orang yang ia jamin, ia boleh meminta kembali kepada mad}mun’anhu apabila pembayaran itu atas izinnya. Dalam hal ini para ulama sepakat, namun  mereka erbeda pendapat apabila penjamin membayar atau menunaikan beban orang yang ia jamin tanpa izin orang yang dijamin bebannya. Menurut ashafi’I dan abu hanifa bahwa membayar utang orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunah, d}amin tidak punnya hak untuk meminta ganti rugi kepad orang yang ia minta jamin (Mad}mun ‘anhu). Menurut madz}hab Ma>liki, d}amin berhak menagih kembali kepada Mad}mun‘anhu. [9]
Ibnu Hazm berpendapat bahwa d}amin tidak berhak menagih kembali kepada mad}mun ‘anhu atas apa yang telah ia bayarkan baik dengan izin Mad}mun  ‘anhu maupun tidak.[10] Apabila mad}mun ‘anhu (orang yang ditanggung) tidak ada, kafil (d}amin) berkewajiban menjamin dan tidak dapat mengelak dari tuntutan kecuali dengan membyar atau orang yang  mengutangkan menyatakan bebas untuk kafil dari utang makfu>llah (orang yang mengutangkan) adalah mem-fasekh-kan akad kafalah sekalipun makfu>l ‘anhu tidak rela.



DAFTAR PUSTAKA
__________, al-Quran al-Karim. DEPAG RI. 2007
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, Vol. 4. Jakarta: Lentera Hati. 2002
Al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fifqh ‘ala Mazabihib al-Arba’a, Vol, 4. Jakarta: Aksara Baru. 2000
Suhendi, Hend. Fikih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002
Sabiq, Sayid. Fiqh al-Sunnah, Vol. 3. Semarang: Dar al-Fiqr. 1977



[1] __________, al-Quran al-Karim (DEPAG RI, 2007), 28.
[2] Ibid.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 488.
[4] Ibid.
[5] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fifqh ‘ala Mazabihib al-Arba’a, Vol, 4 (Jakarta: Aksara Baru, 2000), 221.
[6] Hend Suhendi, Fikih Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 187-191.
[7] Ibid, 188.
[8] Ibid. 192.
[9] Ibid, 191-196.
[10] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol.3 (Semarang: Dar al-Fiqr, 1977), 164.

0 komentar:

Posting Komentar