Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Ketika hukum taklagi disegani

Ketika hukum taklagi disegani

Kita tahu negara republik Indonesia ini menganut system demokrasi, yang di dalamnya kita sebagai bangsa indonesia dituntut untuk menjunjung tinggi hukum seperti halnya agama kita, islam, di agama islam juga terdapat hukum-hukum yang mengatur segala perbuatan muslim atau muslimatbaik yang berhubungan dengan tuhannya (Alloh SWT) dan sesama manusia (hablumminalloh / hablumminannash) itu semua diatur di dalam kitab suci al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ (kesepakatan ulama’) dan Qiyas, sedangkan dinegara kita semua hukum ditetapkan melalui UUD, yang terdiri dari beberapa pasal dan ayat. Seseorang yang terbukti melanggar hukum maka akan dikenakan pidana sesuai UUD yang berlaku ada juga hukum yang tidak tertulis dimana patokan hukum didalmnya adalah ‘urf atau kebiasaan adat setempat, salah satunya orang yang melanggar hukum tersebut akan dikucilkan masyarakat setempat.
            Semua hukum-hukum yang sudah ada di negara maupun agama ini sudah seyogyanya kita patuhi karena sudah barang tentu ketika semua hukum tidak lagi dihiraukan, maka kehidupanpun tak lagi nyaman, dan tak lagi tentram. Seperti beberapa waktu yang lalu masih segar diingatkan kita bagaimana kasus dr. Dewa ayu Sisiary Parawani, Dr. Hendri Simanjuntak dan Hendri Siagian, kasus mal praktek yang oleh para teman seprofesinya yang dianggao sebagai “Kriminalisasi Dokter” membuat para pasien rumah sakit dimana-mana mengeluh, bagaimana tidak hampir sebagian rumah sakit dikota –kota besar mengadakan aksi mogok bersama walaupun hanya saatu hari aksi tersebut membuat para pasien kecewa karena mereka tidak mendapat haknya  sebagai pasien solidaritas antar seprofesi mereka memang patut diacungi jempol teteapi apakah perbuatan mereka mampu menjadi pemecah masalah toh mahkamah agung memutuskan mempidana mereka berdasarkan bukti ilmu kedokteran itu sendiri menurut dr. Johanes F. Mallo SH., S.Pf. DFM. Sebab kematian korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru, sehingga mengakibatkan kegagalan fungsi paru-paru dan jantung (baca jawa pos Kamis, 28 Nopember 2013 “moment instropeksi kedokteran”). Serta cerita terbuktinya tanda tangan palsu korban para dokter beralasan, mereka memalsu tanda tangan korban karena kepentingan darurat, meskipun demikian terlepas dari mana yang benar patut kita sesali aksi mogok para dokter seakan mereka menjadikan profesi mulia itu sebagai alat untuk melawan hukum agar mereka diperlakukan beda di depan hukum. hukum tak memandang pangkat, jabatan, dan keperluan kelompok pribadi tapi di mata hukum semua sama. 

Implementasi UU No. 23 Tahun 2011 Terhadap Pengelolaan Zakat Di Lazis Muhamadiyah Ponorogo

Implementasi UU No. 23 Tahun 2011 terhadap Pengelolaan Zakat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo

            Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disebut LAZ adalah organisasi berbentuk badan hukum yang bertugas melakukan penerimaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. LAZ mendistribusikan dan mendayagunakan zakat yang terkumpul berpedoman kepada database BPZ. Sedangkan pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan atas skala prioritas kebutuhan mustahiq.
Salah satu unsur penting dalam kinerja lembaga zakat adalah laporan keuangan.  Hal ini bertujuan agar transparansi terkait pengelolaan zakat dapat diketahui secara nasional sehingga tujuan zakat yang paling utama yaitu untuk mengentaskan dan membantu kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat berjalan dengan baik.
            Demi tercapainya pengelolaan zakat agar berjalan maksimal, maka diperlukan pengawasan atas organisasi pengelolaan zakat. Maka dari itu disusunlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang menempatkan BAZNAS sebagai regulator teknis dan pengawas bagi seluruh Lembaga Amil Zakat di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 ini, maka segala bentuk kegiatan pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat haruslah dilaporkan kepada BAZNAS secara berkala.

A.       Pengelolaan Zakat sebelum UU No. 23 Tahun 2011
Sebelum adanya UU Nomor 23 Tahun 2011 dalam pengelolaan zakat, pedoman yang dipakai oleh pemerintah dan lembaga pengelola zakat adalah UU Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Definisi menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelola zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Transformasi pengelolaan ZIS dari menejemen tradisional menuju profesional harus segera direalisasi oleh semua pihak terkait (stakaeholders) termasuk di dalamnya penerapan prinsip-prinsip manajemen modern dan good governance seperti membudayakan asas transparansi, responsibilitas, akuntabilitas, kewajaran, dan kesepadanan dan kemandirian. [1]
Pengelolaan zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat  BAB I, Ketentuan Umum Pasal 1, disebutkan bahwa Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Sementara itu pada BAB III Pasal 6 dan Pasal 7 menyatakan bahwa lembaga pengelolaan zakat terdiri dari dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat, yang dalam tulisan ini menggunakan istilah swasta untuk membedakan dengan negara atau pemerintah.[2]
Dalam UU No. 38 Tahun 1999 pada BAB III tentang Organisasi Pengelola Zakat Pasal 7 menjelaskan bahwa :
(1)  Lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah.
(2) Lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Selanjutnya dalam UU No. 38 Tahun 1999 pada BAB IV tentang Pengumpulan Zakat Pasal 12 menjelaskan bahwa :
(1) Pengumpulan zakat dilakukan oleh badan amil zakat dengan cara menerima atau mengambil dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki.
(2) Badan amil zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta
muzakki yang berada di bank atas permintaan muzakki.[3]

B.       Pengelolaan Zakat setelah UU No. 23 Tahun 2011
Untuk meningkatkan pengelolaan dana zakat, perlu menerapkan mekanisme kerja dan manajemen secara profesional. Sebab lembaga zakat merupakan lembaga yang mengelola dana publik. Untuk mengukur profesionalisme lembaga zakat, maka lembaga zakat dapat menerapkan salah satu prinsip manajemen yaitu menjaga dan meningkatkan akuntabilitas lembaga zakat. Usai dicatat secara rapih dan terencana, data keuangan lembaga zakat hendaknya diaudit oleh lembaga audit independen dan dipublikasi kepada masyarakat umum.[4] Oleh karena itu pemerintah berupaya untuk menyusun sebuah perubahan peraturan perUndang-Undangan yang baru sebagai penyempurna Undang-Undang sebelumnya yaitu UU No. 38 Tahun 1999, maka dibentuklah Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 agar sistem pengelolaan ZIS lebih terstruktur dan terorganisir.
Dalam UU No. 23 Tahun 2011 dijelaskan pada Bab I, Ketentuan Umum Pasal 1, Point 7 bahwa Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional dan pada Point 8 bahwa Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Lebih lanjut pada Bab II, Bagian Ke Empat tentang Lembaga Amil Zakat Pasal 17, bahwa Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ. Selanjutnya pada Pasal 18 dijelaskan bahwa :
(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
b. berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. memiliki pengawas syariat;
e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
f. bersifat nirlaba;
g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Selanjutnya dalam BAB X Ketentuan Peralihan Pasal 43 dijelaskan bahwa :
(1) Badan Amil Zakat Nasional yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS berdasarkan Undang-Undang ini sampai terbentuknya BAZNAS yang baru sesuai dengan Undang-Undang ini.
(2) Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dan Badan Amil Zakat Daerah kabupaten/kota yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota sampai terbentuknya kepengurusan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) LAZ yang telah dikukuhkan oleh Menteri sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan sebagai LAZ berdasarkan Undang-Undang ini.
(4) LAZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyesuaikan diri paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. [5]

C.       Peran LAZ dalam Pengelolaan Zakat Pasca Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, maka tugas dan peran LAZ adalah sebagai lembaga pengelola zakat di bawah pengawasan BAZNAS yang mempunyai ketentuan sesuai dengan Pasal 19 bahwa  LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala. Dan Pasal 20 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan organisasi, mekanisme perizinan, pembentukan perwakilan, pelaporan, dan pertanggungjawaban LAZ diatur dalam Peraturan Pemerintah.[6]

DATA LAPANGAN PENELITIAN ZAKAT DI LAZIS MUHAMMADIYAH PONOROGO

A.    Pengelolaan Zakat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo sebelum UU No. 23 Tahun 2011
LAZIS Muhammadiyah Ponorogo berdiri pada tahun 2008 dan merupakan jejaring dari LAZIS Muhammadiyah Pusat Jakarta. LAZIS Muhammadiyah Ponorogo disahkan dengan menggunakan legalitas yang sama yaitu Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 457 Tahun 2002 tanggal 21 November 2002 serta dikukuhkan dengan SK Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 103/KEP/I.0/K/2002 Tanggal 4 Juli 2002.
Pada awal berdirinya, LAZIS Muhammadiyah Ponorogo belum bekerja secara mandiri dalam pengelolaan ZIS, akan tetapi masih bekerja sama dengan berbagai pihak terkait penghimpunan dananya, seperti Bank Rasuna, Swalayan Surya, dan lain-lain. LAZIS Muhammadiyah hanya membantu menyalurkan dana ZIS kepada para mustahiq yang telah ditentukan.
Sebelum adanya UU No. 23 Tahun 2011 pengelolaan terkait pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat dilakukan dengan berpedoman pada Undang-undang sebelumnya dan berdasarkan kitab-kitab fiqh tentang zakat.

B.     Pengelolaan Zakat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo setelah UU No. 23 Tahun 2011
Setelah adanya UU No. 23 Tahun 2011 pengelolaan zakat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo tidak banyak mengalami perubahan. Apalagi terkait penghimpunan sampai penyalurannya. Karena menurut mereka baik dalam UU No. 23 Tahun 2011 ataupun Undang-Undang sebelumnya, telah menyebutkan secara jelas dan sama tentang siapa itu muzakki dan siapa itu mustahiq serta bagaimana pendayagunaan dana ZIS itu harus dilakukan. Mungkin yang membedakan adalah di dalam UU No. 23 Tahun 2011 ini terdapat aturan baru tentang posisi LAZ berada di bawah BAZNAS dan harus melaporkan segala bentuk kegiatan LAZ terkait pengelolaan zakat kepada BAZNAS secara berkala.
Terkait dengan peralihan kedudukan LAZ yang berada di bawah koordinasi BAZNAS sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2011 maka tidak banyak perubahan juga yang terjadi di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo, karena LAZIS Muhammadiyah Ponorogo berdiri dan telah disahkan sebelum adanya UU. No. 23 Tahun 2011, sehingga LAZIS Muhammadiyah Ponorogo bekerja sebagaimana sebelumnya.
.
C.    Peran LAZ dalam Pengelolaan Zakat Pasca Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
LAZIS Muhammadiyah Ponorogo merupakan jejaring dari LAZIS Muhammadiyah Pusat yang berada di Jakarta. LAZIS Muhammadiyah Ponorogo bekerja dalam pengelolaan zakat bagi umat Muhammadiyah yang berada di wilayah Ponorogo. Maka dari itu, segala bentuk pelaporan dan pertanggungjawaban terkait pengelolaan zakat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo dilaporkan kepada LAZIS Muhammadiyah Pusat yang berada di Jakarta, sedangkan terkait koordinasi kepada BAZNAS tentang pelaporan kegiatan pengelolaan zakat, yang bertugas melaporkan kepada BAZNAS adalah LAZIS Muhammadiyah Pusat yang berada di Jakarta.

ANALISIS DATA

A.    Pengelolaan Zakat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo sebelum UU No. 23 Tahun 2011
            Pengelolaan zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat  BAB I juga terdiri dari  Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat, yang dalam tulisan ini menggunakan istilah swasta untuk membedakan dengan negara atau pemerintah.
Dalam UU No. 38 Tahun 1999 pada BAB III tentang Organisasi Pengelola Zakat Pasal 7 (1) ayat  menjelaskan bahwa Lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah.
Selanjutnya dalam UU No. 38 Tahun 1999 pada BAB IV tentang Pengumpulan Zakat Pasal 12 ayat (2) menjelaskan bahwa Badan amil zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta muzakki yang berada di bank atas permintaan muzakki.
Pengelolaan zakat di LAZIS Mu Ponorogo sebelum adanya UU No. 23 Tahun 2011 telah sesuai dengan Undang-Undang sebelumnya yaitu UU No. 38 Tahun 1999 karena berdirinya LAZIS Muhammadiyah Ponorogo telah disahkan dengan menggunakan legalitas yang sama dengan LAZIS Muhammadiyah Pusat yaitu Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 457 Tahun 2002 tanggal 21 November 2002 serta dikukuhkan dengan SK Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 103/KEP/I.0/K/2002 Tanggal 4 Juli 2002. Selain itu karena telah banyaknya lembaga zakat di Ponorogo pada saat awal berdirinya, maka dalam kinerjanya  LAZIS Muhammadiyah Ponorogo bekerja sama dengan Bank Rasuna, Swalayan Surya dll terkait dengan pengumpulan dan penyaluran dana zakat.

B.     Pengelolaan Zakat di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo setelah UU No. 23 Tahun 2011
Dalam UU No. 23 Tahun 2011 dijelaskan pada Bab I, Ketentuan Umum Pasal 1, pada Point 8 bahwa Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. 
Lebih lanjut pada Bab II, Bagian Ke Empat tentang Lembaga Amil Zakat Pasal 17, bahwa Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ. Selanjutnya pada Pasal 18 ayat (1) dijelaskan bahwa : Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
Selanjutnya dalam BAB X Ketentuan Peralihan Pasal 43 ayat (3) dijelaskan bahwa : LAZ yang telah dikukuhkan oleh Menteri sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan sebagai LAZ berdasarkan Undang-Undang ini.
Setelah diundangkannya UU No. 23 Tahun 2011, pengelolaan zakat yang berada di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo tidak banyak mengalami perubahan untuk menyesuaikan diri terhadap Undang-Undang yang baru. Karena peraturan tentang penghimpunan, penyaluran, sampai kepada pendayagunaan dana zakat tidak banyak mengalami perubahan dari Undang-Undang sebelumnya. Kedudukan LAZIS juga tidak mengalami perubahan karena LAZIS Muhammadiyah Ponorogo berdiri sebelum adanya UU No. 23 Tahun 2011. Hal ini telah sesuai dengan Undang-Undang bahwasanya LAZ yang berdiri sebelum UU No. 23 Tahun 2011, tetap berlaku sebagai LAZ sebagaimana Undang-Undang ini.

C.    Peran LAZIS Muhammadiyah Ponorogo dalam Pengelolaan Zakat Pasca Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, maka tugas dan peran LAZ adalah sebagai lembaga pengelola zakat di bawah pengawasan BAZNAS yang mempunyai ketentuan sesuai dengan Pasal 19 bahwa  LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
LAZIS Muhammadiyah Ponorogo merupakan jejaring dari LAZIS Muhammadiyah Pusat Jakarta yang bekerja dalam pengelolaan zakat bagi umat Muhammadiyah yang berada di wilayah Ponorogo. Segala bentuk pelaporan dan pertanggungjawaban terkait pengelolaan dana yang berada di LAZIS Muhammadiyah Ponorogo dilaporkan kepada LAZIS Muhammadiyah Pusat yang kemudian akan dilaporkan kepada BAZNAS. Sehingga sudah terdapat garis koordinasi antara LAZIS Muhammadiyah dengan BAZNAS.


[1] Atik Abidah, Zakat Filantropi dalam Islam, (Ponorogo: STAIN Ponorogo PRESS, 2011) hal 7.
[2] Ibid., hal 9.
[3] Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999.
[4] Noor Aflah, Arsitektur Zakat Indonesia (Jakarta: UI Press, 2009) hal 28.
[5] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011.
[6] Ibid.

Menejemen Asuransi Syariah

Menejemen Asuransi Syariah

Keberhasilan setiap lembaga ekonomi sangat ditentukan oleh baik tidaknya pengelolaan yang dilakukan. Pengelolaan yang ideal akan memperhatikan semua aspek yang ada pada lembaga ekonomi itu. Dimana, lembaga ekonomi yang baik akan menetapkan perencanaan, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang bagi kegiatan operasionalnya yang mencakup seluruh bidang kegiatan yang berkaitan dengan usahanya. Seluruh kegiatan yang dilakukan tersebut merupakan aktivitas dari manajemen. Kegiatan manajemen inilah yang mendorong sebuah lembaga ekonomi untuk meraih keberhasilan dalam menjalankan usaha.
Sebaliknya pengelolaan yang kurang baik, maka akan dapat berakibat runtuhnya sebuah lembaga ekonomi. Pengelolaan yang baik ini membantu untuk memprediksi hambatan-hambatan yang terjadi sehingga dapat dipersiapkan lebih awal. Begitupula terhadap peluang, ancaman, kekuatan, dan kelemahan yang dimiliki akan segera dapat dianalisis sehingga tindakan proaktif akan lebih mudah dilakukan.
Asuransi adalah sebuah lembaga ekonomi yang bergerak di bidang penjaminan. Terkait dengan penjelasan tersebut, maka asuransi juga membutuhkan pengelolaan (manajemen) yang baik pula. 
Sebuah perusahaan yang bergerak dalam pengelolaan keuangan, semacam asuransi, akan berjalan dengan baik dan mempunyai kinerja yang sehat jika dikelola dengan manajemen yang baik dan sesuai dengan norma peraturan yang berlaku. Manajemen asuransi adalah sebuah cara dalam mengelola perusahaan asuransi supaya operasionalnya berjalan dengan baik dan dapat diharapkan menghasilkan return positif bagi perusahaan beserta para staf yang bekerja di dalamnya.[1]
Karena asuransi adalah bisnis yang berkaitan erat dengan risiko (risk) maka sebuah manajemen asuransi juga tidak dapat dilepaskan dari bagaimana cara mengelola risiko itu sendiri. Sehingga manajemen asuransi tidak lain merupakan bagian dari manajemen risiko.[2]
Bidang-bidang manajemen asuransi:
1.      Bidang Sumber Daya Manusia
Perusahaan asuransi dalam mencapai tujuan-tujuannya tidaklah dilakukan oleh hanya beberapa orang pimpinan saja, tetapi seluruh sumber daya manusia yang ada telah berpartisipasi untuk meraihnya. Oleh karena itu untuk dapat memelihara dan meningkatkan kuantitas maupun kualitas sumber daya manusia (SDM) yang handal maka diperlukan kegiatan manajemen sumber daya manusia. Manajemen SDM ini menempati posisi yang strategis karena penempatan yang benar terhadap orang-orang dalam pekerjaan yang benar akan dapat meningkatkan kinerja yang pada akhirnya menentukan prestasi kerja perusahaan secara keseluruhan.[3]
Tanpa memandang bentuk organisasi atau tempatnya dalam perusahaan, maka setiap staf divisi sumber daya manusia melaksanakan fungsi-fungsi seluruh bagian perusahaan asuransi. Adapun tugas dari staf divisi sumber daya manusia adalah:
a.       Menghimpun proyeksi dan memperkirakan kebutuhan pegawai.
b.      Merekrut pegawai-pegawai potensial.
c.       Membantu para kepala divisi menyeleksi pegawai untuk posisi yang diperlukan.
d.      Membantu dalam hal orientasi dan pelatihan anggota staf dan membantu mereka mengembangkan keterampilan profesi dan manajerial.
e.       Menggunakan sistem evaluasi untuk kerja para anggota staf.
f.       Merencanakan dan menjaga sistem kompensasi.
g.      Membuat dan melaksanakan rencana kesejahteraan karyawan.
h.      Memberikan bimbingan dan pembinaan pribadi dan profesinya.[4]

2.      Bidang Marketing (Pemasaran)
Organisasi sebuah perusahaan akan menempatkan aspek pemasaran sebagai sesuatu yang penting dalam mendukung kelancaran jalannya operasional perusahaan. Apalagi perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pertanggungan semacam asuransi akan selalu menempatkan bidang pemasaran sebagai tulang punggung penopang kinerja perusahaan.
Pemasaran berasal dari kata pasar,  yang dalam konteks tradisional diartikan dengan “tempat orang yang berjual beli”. Pemasaran adalah proses, cara, pembuatan, dan memasarkan suatu barang dagangan. Dalam literatur Arab-Islam, pasar disebut assuq, jamaknya aswaq. Sedangkan pemasaran disebut dengan at-taswiq. Tentang konsep pasar dan pemasaran, pada dasarnya tidak ada perbedaan atau bahkan sama saja antara konsep pasar dalam sistem ekonomi Konvensional dengan konsep pasar dalam sistem ekonomi Syari’ah. Yang membedakan antara keduanya yaitu terutama terletak pada sistem akad dan barang-barang dagangkan yang diakadkan di samping asas-asas akad dan tujuan dari akad atau transaksi ekonomi itu sendiri.[5]
Fungsi pemasaran dalam perusahaan asuransi konvensional dituntut untuk memperkenalkan dan menjualkan produk-produk asuransi kepada calon nasabah (prospecting). Hal ini terjadi dikarenakan proses interaksi antara calon nasabah dengan perusahaan asuransi konvensional melalui transaksi dan kontrak jual beli. Perusahaan asuransi melalui staf pemasaran menawarkan produknya untuk dibeli oleh calon nasabah dengan imbalan sebuah polis dari perusahaan, sedang calon nasabah mempunyai kewajiban membayar dalam bentuk premi.
Lain halnya dengan perusahaan asuransi Syariah yang akadnya tidak memakai prinsip jual beli (tabaddul) maka proses marketing seharusnya tidak hanya bertumpu pada penjualan terhadap produk-produk yang dikeluarkan tetapi lebih berorientasi pada penawaran keikutsertaan untuk saling menanggung (takaful) pada suatu peristiwa yang belum terjadi dalam jangka waktu tertentu. Sehingga uang yang disetor oleh nasabah asuransi Syariah merupakan dana tabbaru yang sengaja diniatkan untuk melindungi dia dan nasabah lainnya  dalam menghadapi peril(peristiwa asuransi).[6]
Pemasaran syari’ah adalah sebuah disiplin bisnis strategi yang mengerahkan proses penciptaan, penawaran, dan perubahan value dari satu inisiator kepada stakholders-nya, yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah dalam islam. Kata kunci dalam definisi pemasaran syari’ah ini adalah bahwa dalam seluruh proses, baik proses penciptaan, proses penawaran maupun proses perubahan nilai (value), tidak boleh ada yang bertentangan dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah dalam islam.
Di dalam islam juga sudah dijelaskan yang terkait dengan muamalah yang terdapat dalam kaidah fiqh yang paling basic yaitu “al-ashlu fil muaamalatil ibahah illah ayyadulla daliilun `alaa tahriimihaa” (pada dasarnya bentuk muamalah (business) boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya).[7]
Salah satu tugas manajer pemasaran adalah melakukan kegiatan promosi. Promosi produk-produk asuransi merupakan salah satu dari kegiatan bauran pemasaran yang harus dilakukan oleh bagian pemasaran. Kegiatan promosi menjadi media informasi yang penting mengenai segala hal yang berkaitan dengan produk yang akan ditawarkan kepada konsumen. Kegiatan promosi menjadi sangat strategis karena dapat membentuk citra dan kepercayaan masyarakat atas produk-produk asuransi.. Pengertian promosi adalah kegiatan perusahaan dalam mempengaruhi konsumen aktual (aktual maupun potensial) agar mereka mau melakukan pembelian terhadap produk yang ditawarkan pada saat ini ataupun masa yang akan datang. Promosi bertujuan untuk:
a.       Meningkatkan penjualan perusahaan yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan laba perusahaan.
b.      Meningkatkan citra perusahaan yang baik dan positif.[8]
Untuk mencapai tujuan promosi tersebut, maka kegiatan-kegiatan promosi yang dipilih harus memenuhi prinsip-prinsip efektif, efisien dan ekonomis. Dengan kata lain kegiatan promosi harus tepat pada sasaran, mempunyai daya tarik yang tinggi dalam menarik perhatian atau minat khalayak terhadap kegiatan promosi tersebut.[9]
Di bawah ini prinsip-prinsip pemasaran dalam perspektif marketing syariah sebgai berikut :
1.      Segmentation (Segmentasi) 
           Segmentasi disebut sebagai mapping strategy (Pemetaan pasar), karena di sini kita melakukan pemetaan pasar. Pemetaan ini merupakan proses yang kreatif, karena pasarnya sebenarnya sama, namun cara pandang kita terhadap pasar itulah yang membedakan kita dengan pesaing.
 “we are not the first, but we are the best!”  kalimat indah dan menyentak ini dipakai oleh beberapa perusahaan sekaligus di Indonesia. Maksudnya, tentu ingin memasukkan di benak konsumen bahwa perusahaan tersebut adalah terbaik di bidangnya. Marlboro juga pernah beriklan di Indonesia dengan moto, “Nomor satu di Amerika, nomor satu di dunia”. Dengan kalimat ini, rokok putih berfilter ini ingin menyatakan bahwa interms of sales volume, Marlboro juara terbaik di Amerika dan di dunia. Jadi contoh positioning statement  yang pertama tadi menekankan quality, maka yang kedua lebih menekankan pada quantity
2.      Targeting (Target pasar)
Dalam pemeliharaan target pasar yang tepat, suatu perusahaan harus menggunakan empat kriteria yaitu ukuran segemen, pertumbuhan segmen , keunggulan kompetitif perusahaan, situasi kompetitif perusahaan.
Berdasarkan kriteria-kriteria ini, perusahaan harus menyeleksi segmen pasar yang “cocok” dengan tujuan dan sumber dayanya, di mana perusahaan mamapu mencapai kinerja yang unggul. Pekerjaantargeting atau memilih target market adalah langkah berikutnya setelah melakukan segmentasi pasar. Pekerjaan ini sangat penting, karena kesalahan dalam segmentasi akan berpengaruh besar terhadap strategi dan taktik pada komnponan marketing lainnya. Dalam targeting, yang tidak kalah pentingnya adalah sejauh mana suatu perusahaan mampu mengukur kemampuan dan keunggulan kompetitif serta sumber daya yang dimiliki.
3.      Positioning (Penentuan posisi) 
            Positioning adalah pernyataan akan identitas suatu produk, jasa, perusahaan, lembaga, orang bahkan Negara yang bisa menghasilkan keunggulan di benak orang yang ingin dicapai.karena itu,  positioningharus membuat produk, jasa, perusahaan, lembaga, orang, atau Negara itu jadi dipersepsikan berbeda dengan pesaingnya. Perbedaan itu harus benar-benar bisa memisahkan diri dari yang lain. Yang lebih penting lagi yaitu perbedaan itu disukai, ditunggu, dan kalau bisa didambakan.
       Dalam menentukan posisi produk, suatu perusahaan harus memberikan perhatian terhadap empat pertimbangan berikut:
1.Positioning harus cocok dengan kekeuatan perusahaan.
2.Positioning harus jelas berbeda dengan positioning pesaing.
3.Positioning harus diterima positif (disukai dan dapat dipercaya) oleh para konsumen
4.Positioning harus sustainable (berkelanjutan) untuk beberapa waktu.
4.      Marketing tactic (Taktik pemasaran)
Untuk merealisasikan strategi dan value (nilai) disebut taktik, yang menunjukkan bagaimana suatu perusahaan mengeukuhkan dirinya di pasar, dimana peperangan yang sebenarnya terjadi dan peperangan di sini memerlukan strategi atau taktik yang rapi, benar, dan teratur.
Ajaran Islam memang mengajarkan agar dalam mengerjakan segala sesuatu harus dengan rapi, benar, taktis, dan teratur. Setiap pekerjaan apalagi yang berkaitan denga bisnis haruslah dengan itqan(tepat, terarah, jelas, dan taktis), tidak boleh asal-asalan.  Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, teratur, dan taktis).” 
5.      Differentiation (Diferensiasi)
Secara tradisional, diferensiasi diartikan dengan perbedaan dalam apa yang ditawarkan perusahaan.[20] Di sini,  positioning  ada di kelompok strategi, karena merupakan cara memenangkan perang! Sedangkan, Differentiation diperlukan untuk mengkongkretkan positioning tersebut. Suatu strategi yang tidak dikonkretkan dalam taktik, akan merupakan sesuatu yang ada di awang-awang, tidak membumi!  Di dalam Differentiation tugas marketing bukan hanya terbatas pada “how to win the war”,tapi juga “how to win the battle”. Karena, war terdiri dari banyak battle“tactic is also about how to the things right”.
6.      Marketing mix (Bauran pemasaran)
Bauran pemasaran yaitu seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran.[21] Bauran pemasaran meliputi empat komponen yaitu produk, harga, distribusi, dan promosi (4P-Product, price, place, promotion). Salah satu yang mendapatkan sorotan dari sudut pandang syari’ah dalam marketing mix, khusunya promosi, adalah bahwa betapa banyak promosi yang dilakukan saat ini melalui berbagai media promosi justru mengandung kebohongan dan penipuan. Dari sudut pandang syari’ah, faktor ini yang sangat dominan banyak yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah dalam praktiknya di market.[10]
DAFTAR PUSTAKA
AF Stoner, James. Manajemen Jilid 1Jakarta: Prenhallindo. 1996.
Ali, Hasan. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam (Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, Dan Praktis)Jakarta: Prenada Media, 2004.
Eko Purwana, Agung. Asuransi (Lembaga Keuangan Bukan Bank) Jilid. 1PonorogoSTAIN Ponorogo Press. 2006.
Huggins, Kenneth. Operations Of Life And Health Insurance Companies (Operasi Perusahaan Asuransi Jiwa Dan Asuransi KesehatanTerj. Yayasan DharmaputeraJakarta: Yayasan Dharmaputera, 1992.
Prihantoro, M. Wahyu, Manajemen Pemasaran Dan Tata Usaha AsuransiYogyakarta: Kanisius, 2001.
Qardhawi, Yusuf. Halal Dan Haram Dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1980.
Suma, M. Amin. Asuransi Syari’ah dan Asuransi KonvensionalJakarta: Kholam Publising, 2006.
Syakir Sula, Muhammad, Asuransi Syari’ahJakarta: Gema Insani, 2004.



[1] James AF Stoner, Manajemen Jilid 1 (Jakarta: Prenhallindo, 1996), 7.
[2] Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam (Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, Dan Praktis) (Jakarta: Prenada Media, 2004), 84.
[3]Agung Eko Purwana, Asuransi (Lembaga Keuangan Bukan Bank) Jilid. 1 (Ponorogo, STAIN Ponorogo Press, 2006), 46.
[4]Kenneth Huggins, Operations Of Life And Health Insurance Companies (Operasi Perusahaan Asuransi Jiwa Dan Asuransi Kesehatan, Terj. Yayasan Dharmaputera (Jakarta: Yayasan Dharmaputera, 1992), 476.
[5] M. Amin Suma, Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional(Jakarta: Kholam Publising, 2006), hlm. 79.
[6]Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram Dalam Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1980), 378.
[7] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syari’ah (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 419.
[8]M. Wahyu Prihantoro, Manajemen Pemasaran Dan Tata Usaha Asuransi (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 11.
[9]Purwana, Asuransi, 51.