Ketika hukum taklagi disegani
Kita tahu
negara republik Indonesia ini menganut system demokrasi, yang di dalamnya kita
sebagai bangsa indonesia dituntut untuk menjunjung tinggi hukum seperti halnya
agama kita, islam, di agama islam juga terdapat hukum-hukum yang mengatur
segala perbuatan muslim atau muslimatbaik yang berhubungan dengan tuhannya
(Alloh SWT) dan sesama manusia (hablumminalloh / hablumminannash) itu semua
diatur di dalam kitab suci al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ (kesepakatan ulama’) dan
Qiyas, sedangkan dinegara kita semua hukum ditetapkan melalui UUD, yang terdiri
dari beberapa pasal dan ayat. Seseorang yang terbukti melanggar hukum maka akan
dikenakan pidana sesuai UUD yang berlaku ada juga hukum yang tidak tertulis
dimana patokan hukum didalmnya adalah ‘urf atau kebiasaan adat setempat,
salah satunya orang yang melanggar hukum tersebut akan dikucilkan masyarakat
setempat.
Semua
hukum-hukum yang sudah ada di negara maupun agama ini sudah seyogyanya kita
patuhi karena sudah barang tentu ketika semua hukum tidak lagi dihiraukan, maka
kehidupanpun tak lagi nyaman, dan tak lagi tentram. Seperti beberapa waktu yang
lalu masih segar diingatkan kita bagaimana kasus dr. Dewa ayu Sisiary Parawani,
Dr. Hendri Simanjuntak dan Hendri Siagian, kasus mal praktek yang oleh para
teman seprofesinya yang dianggao sebagai “Kriminalisasi Dokter” membuat para
pasien rumah sakit dimana-mana mengeluh, bagaimana tidak hampir sebagian rumah
sakit dikota –kota besar mengadakan aksi mogok bersama walaupun hanya saatu
hari aksi tersebut membuat para pasien kecewa karena mereka tidak mendapat
haknya sebagai pasien solidaritas antar
seprofesi mereka memang patut diacungi jempol teteapi apakah perbuatan mereka
mampu menjadi pemecah masalah toh mahkamah agung memutuskan mempidana mereka
berdasarkan bukti ilmu kedokteran itu sendiri menurut dr. Johanes F. Mallo SH.,
S.Pf. DFM. Sebab kematian korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik
kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru, sehingga mengakibatkan kegagalan
fungsi paru-paru dan jantung (baca jawa pos Kamis, 28 Nopember 2013 “moment
instropeksi kedokteran”). Serta cerita terbuktinya tanda tangan palsu korban
para dokter beralasan, mereka memalsu tanda tangan korban karena kepentingan
darurat, meskipun demikian terlepas dari mana yang benar patut kita sesali aksi
mogok para dokter seakan mereka menjadikan profesi mulia itu sebagai alat untuk
melawan hukum agar mereka diperlakukan beda di depan hukum. hukum tak memandang
pangkat, jabatan, dan keperluan kelompok pribadi tapi di mata hukum semua
sama.
0 komentar:
Posting Komentar