Surat An-Nisa’ Ayat 34 Tentang Kewajiban Suami Istri

SURAT AN-NISA’ AYAT 34 
TENTANG KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

A.    An-Nisa’ Ayat 34
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ 

B.     Mufrodat
Kalian khawatir
:
تخافون

Pemimpin
:
قوّامون
Maka nasehatilah
:
فعظوهنّ

Melebihkan
:
فضّل
Dan pisahkanlah
:
واهجروهنّ

Menafkahkan
:
انفقوا
Di tempat tidur
:
في المضاجع

Taat kepada allah
:
قنتت
Mencari-cari
:
تبغوا

Memelihara
:
حفظت

C.    Terjemah
1.      “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang sholih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mancari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”[1] (Q.S. An-Nisa’ : 34)
2.      Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, sehubungan dengan daya dan tenaga yang diberikan Allah kepada golongan laki-laki melebihi wanita, disamping kelebihan kemampuannya untuk memberi nafkah dari hartanya. Maka wanita baik-baik adalah yang ta’at kepada allah dan mematuhi suaminya, serta memelihara rahasia hubungan intim persuami-istrian sesuai dengan apa yang diperintahkan allah. Sebaliknya wanita-wanita yang kamu khawatir akan kedurhakaannya, mula-mula berilah nasihat yang baik, kalau tidak mempan, hukumlah dengan berpisah tempat tidur. Kalau tidak mampu pula, pukullah. Tapi bila mereka telah menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyalahkannya, sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.[2] (Q.S. An-Nisa’ : 34)

D.    Asbabun Nuzul
Disebutkan dari Al Hasan, bahwa sesungguhnya dia berkata,”ada seorang wanita datang menemui Rasulullah lalu dia berkata, “sesungguhnya suamiku telah melempar wajahku”.  Lalu Rosulullah berkata, “ sesungguhnya antara kamu berdua berlaku qishoh maka Allah menurunkan firmannya, “Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur’an sebelum disempurnakan wahyunya kepadamu” (At Thoha ayat 114).[3]
Selain itu, diriwayatkan pula dari Muqatil bahwa seorang wanita bernama Habibah Binti Zaid Ibn Abu Zuhair malakukan perbuatan durhaka kepada suaminya, yang bernama Saad Ibn Arobi. Dengan ditemani ayahnya, Habibah kemudian mengadu kepada Nabi Muhammad. Kata sang ayah, “saya berikan anakku kepadanya untuk menjadi teman tidurnya, namun dia ditempelengnya”. Mendengar pengaduan itu, nabi menjawab hendaklah kamu mengambil pembalasan darinya yakni menamparnya. Setelah itu Habibah bersama ayahnya pulang dan melakukan pembalasan kepada suaminya. Setelah Habibah melaporkan pebuatannya, nabi bersabda kembalilah kamu, ini Jibril datang dan Allah menurunkan ayat ini, dan Nabi membacakannya. Pada akhirnya Nabi bersabda, “kita berkehendak begitu, Allah berkehendak begini. Dan apa yang Allah kehendaki itulah yang terbaik.” Inilah ayat yang menjadi dasar penentuan adanya mediator (penengah, wasit) yang bertugas mendamaikan suami istri melalui jalan yang terbaik, yang disepakati semua pihak. Jika petunjuk Al-Qur’an kita jalankan dengan baik, tidak perlulah suami istri harus menghadap hakim di pengadilan untuk memutuskan tali pernikahan, dengan akhir perjalanan berupa cerai.[4]

E.     Ayat Al-Qur’an Yang Lain Sebagai Pendukung
1.
…. £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 …..

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai tingkatan kelebihan dari pada istri mereka.”[5] (Q.S. Al Baqoroh : 228)
2.
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Isteri-isteri kamu adalah sebagai kebun tanaman kamu, oleh itu datangilah kebun tanaman kamu menurut cara Yang kamu sukai dan sediakanlah (amal-amal Yang baik) untuk diri kamu; dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah Sesungguhnya kamu akan menemuiNya (pada hari akhirat kelak) dan berilah khabar gembira Wahai Muhammad kepada orang-orang Yang beriman.”[6] (Q.S. Al-Baqarah : 233)
3.
$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© Ÿ@yèøgsur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 ÇÊÒÈ  

“Wahai orang-orang Yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan Dengan jalan paksaan, dan janganlah kamu menyakiti mereka (dengan menahan dan menyusahkan mereka) kerana kamu hendak mengambil balik sebahagian dari apa Yang kamu telah berikan kepadaNya, kecuali (apabila) mereka melakukan perbuatan keji Yang nyata. dan bergaulah kamu Dengan mereka (isteri-isteri kamu itu) Dengan cara Yang baik. kemudian jika kamu (merasai) benci kepada mereka (disebabkan tingkah-lakunya, janganlah kamu terburu-buru menceraikannya), kerana boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedang Allah hendak menjadikan pada apa Yang kamu benci itu kebaikan Yang banyak (untuk kamu).”[7] (Q.S. An-Nisa’ : 19)

F.     Kandungan Ayat (Tafsir)
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# 
Kata Ar-Rijal adalah bentuk jama’ dari lafadz Rajul yang biasa diterjemahkan “laki-laki”. Walaupun Al-Qur’an tidak selalu menggunakannya dalam arti tersebut. Dalam buku wawasan Al-Qur’an, bahwa Arijalu Qowwamuna ‘Alan Nisa’ bukan berarti laki-laki secara umum karena konsideran (pertimbangan yg menjadi dasar penetapan keputusan) pernyataan di atas, seperti yang ditegaskan pada ayat tersebut. Kata qowwamuna adalah jamak dari lafadz qowwam, yang mengambil dari kata qoma, yang diartikan sebagai “pemimpin”, tetapi seperti yang dibaca dari maknanya di atas, tatapi terjemahan itu belum menggambarkan makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya atau dengan kata lain, dalam pengertian “kepemimpinan” tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan.[8]
Selain itu, laki-laki adalah pemimpin kaum wanita dalam arti pemimpin, kepala, hakim, dan pendidik wanita, jika ia menyimpang.[9] Dengan cara mengharuskan mereka untuk menunaikan hak-hak Allah berupa pemeliharaan akan kewajiban-kewajiban darinya  dan melarang mereka dari berbuat kerusakan, laki-laki wajib untuk menekankan hal tersebut kepada mereka. dan laki-laki juga adalah pemimpin mereka dengan memberikan nafkah kepada mereka berupa pakaian dan tempat tinggal.[10]
.... $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/. ...4
Maksudnya karena laki-laki lebih utama dari pada wanita dan laki-laki lebih baik dari pada wanita. Karena itu, Kenabian dikhususkan untuk laki-laki. Begitu pula raja dan presiden serta jabatan hakim dan lain-lain.[11] Selain berkewajiban menafkahi keluarga seorang laki-laki bertugas melindungi kaum perempuan. Itu sebabnya peperangan hanya diwajibkan untuk kaum laki-laki, tidak kepada kaum perempuan. Peperangan merupakan suatu urusan melindungi bangsa dan Negara. Inilah yang menjadi dasar mengapa kaum laki-laki memperoleh bagian lebih banyak harta warisan dari pada kaum perempuan.[12] Keutamaan laki-laki atas wanita disebabkan dari beberapa segi, diantaranya adalah dari segi kekuasaan, seperti Kenabian dan Kerosulan. Selain itu juga dari keputusan mereka dalam segi ibadah, seperti jihad, sholat hari raya, dan sholat jum’at. Dan apa yang telah allah berikan secara khusus buat mereka berupa akal pikiran yang matang kesabaran dan ketegaran yang tidak dimiliki oleh wanita.[13]
Dari potongan ayat tersebut dapat dijelaskan pula bahwasanya masing dari suami istri memliki keistimewaan sendiri-sendiri. Tetapi, keistimewaan yang dimiliki laki-laki lebih menunjang tugas kepemimpinan dari pada tugas yang dimiliki perempuan. Disisi lain, yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada laki-laki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.[14] Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan wanita  saling berpasang-pasangan berdasarkan prinsip umum  dalam membangun alam ini. Allah menentukan tugas wanita antara lain, untuk mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara hasil hubungannya dengan suaminya, ini adalah tugas yang sangat agung dan sangat penting. Sedangkan laki-laki ditugaskan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan wanita, dan memberikan perlindungan kepadanya agar ia bebas dalam melakukan tugasnya yang sangat penting itu. Adil bila laki-laki diberi kekhususan dalam struktur tubuh, syaraf dan pikiran serta kejiwaan sehingga membantunya dalam melaksanakan tugas yang berat. Selain itu, laki-laki diberi sifat khusus seperti karas dan kuat, tidak mudah terpengaruh atau sabar dalam berekasi dan merespon, serta lebih menggunakan akal pikiran sebelu berbuat dan bertindak. Sifat-sifat khusus ini membuat laki-laki lebih mampu untuk memimpin dan lebih professional dalam menghadapi tanggung jawabnya. Kepemimpinan itu hanyalah sebatas peranan dalam lingkup keluarga untuk mengelola, menjaga dan melindungi institusi yang sangat vital ini.[15]
!$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr&
Maksudnya yaitu yang berupa mahar nafkah dan berbagai tanggung jawab yang diwajibkan Allah kepada mereka dalam Al-Qur’an dan As Sunnah. Maka laki-laki lebih utama dari pada wanita dalam hal jiwanya dan laki-laki memiliki keutamaan dan kelebihan sehingga cocok menjadi penanggung jawab atas wanita sebagaimana firman Allah dalam Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 228. Pada hakikatnya memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi laki-laki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dulu hingga sekarang. Dalam konteks memenuhi kebutuhan isteri secara ekstrim dan berlebihan, pakar hokum Islam, Ibnu Hazm, berpendapat bahwa wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam hal menyediakn makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan uantuk isteri dan anak-anaknya pakaian jadi, dan makanan yang siap makan.[16]
àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$#
Wanita yang sholeh adalah wanita yang taat kepada suaminya, hingga saat suaminya sedang tidak ada, dengan menjaga dirinya untuk suaminya dan juga hartanya, yang demikian itu dengan penjagaan Allah bagi mereka dan bimbingannya terhadap mereka dan bukannya dari diri sendiri karena sesugguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kepada kejahatan, akan tetapi barang siapa yang bertawakkal kepada allah niscaya cukuplah baginya hal itu dari perkara yng merisaukannya berupa perkara dunia dan akhirat.[17] Perempuan-perempuan yang soleh adalah mereka yang menaati suami, merahasiakan segala apa yang terjadi diantara keduanya, tidak diceritakan atau diberitahukan kepada siapapun, termasuk dengan kerabat. Mereka melakukan hal itu disebabkan janji yang telah diberikan oleh Allah yaitu memperoleh pahala yang besar karena memelihara yang ghoib (rahasia) yang karena ancaman Allah terhadap orang yang membuka rahasia orang lain. Ayat ini mengandung pelajaran yang besar bagi kaum perempuan yang suka menceritakan segala apa yang terjadi diantara dia dan suaminya, terutama yang didalam ranjang.[18]
 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur (
Tindakan tidak taat mereka kepada para suami mereka, berupa kedurhakaan terhadap suami baik dalam perkataan maupun perbuatan, maka sang suami boleh menghukumnya dengan yang paling mudah lalu yang mudah, yaitu dengan menjelaskan kepada mereka tentang hokum-hukum Allah dalam perkara ketaatan dan kedurhakaan kepada suami, menganjurkanya untuk taat, dan mengancamnya dari berbuat durhaka, bila ia kembali taat, maka itulah yang diharpakan, namun bila tidak, maka suami boleh memisahkan istri di tempat tidurnya, yaitu suami tidak menggaulinya dengan tujuan sampai perkara yang diinginkan tercapai, namun bila tidak tercapai, maka suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak membahayakan (tidak meninggalkan luka).[19]jika kamu melihat ada indikasi bahwa istrimu tidak akakn menjalankan kewajiban-kewajiban (durhaka) yang harus dilaksanakan, maka berikut ini beberapa tindakan edukatif (bersifat mendidik) yang bias dilakukan:
1.      Berilah nasehat atau pendapat yang bias mendorong si istri merasa takut kepada allah dan menginsafi bahwa kesalahan-kesalahan yang dilakukannya akan memperoleh siksa dari allah pada hari kiamat kelak.
2.      Jauhilah dia, misalnya dengan tidak tidur seranjang bersama
3.      Pukullah dengan kadar pukulan yang tidak menyakiti dirinya. Hal ini boleh dilakukannya apabila keadaan memaksa. Yakni ketika si istri sudah tidak lagi bias dinasehati dan diinsyafi dengan ajaran-ajaran yang lemah lembut. Tetapi sebenarnya, suami yang baik dan bijaksana, tidak memerlukan tindakan yang ke tiga.[20]

 ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 
Jika si istri kembali menaatimu setelah mengambil dari beberapa tindakan di atas, maka, janganlah kamu menganiyayanya.[21] Janganlah suami mencelanya atas perkara-perkara yang telah berlalu tersebut dan mencari-cari kekurangan yang sangat berbahaya bila disebutkan, dimana heal itu akan menimbulkan keburukan.[22] Akan tetapi jika dengan ketiga cara diatas tidak berhasil, maka adakanlah tahkim. jika hal-hal lahir telah cukup untuk menjadi bukti, maka janganlah mengungkit-ungkit rahasia.[23]

¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ 
Allah memperingatkan kita dengan kekuasaan dan kebesaran-Nya, supaya kita tidak mendzalimi istri dan berlaku curang. Dia akan memberikan saksi-Nya kepada suami yang berlaku kurang baik terhadap istrinya, dengan menonjolkan kekuasaannya sebagai suami dan memperlakukan istri secara kurang patut.[24]
Hak mengurus dan mengendalikan istri itulah yang diberikan kepada laki-laki, tetapi bukan untuk berbuat sewenang-wenang. Apabila pertengkaran antara suami dan istri bias diselesaikan dengan cara-cara yang ttelah disebutkan, bahkan percocokan masih tterus terjadi, maka Allah member jalan keluar (solusi).[25] Milik-Nya ketinggian yang muthlak dari berbagai segi dan pandangan, ketinggian Dzat, ketinggian Kuasa dan ketinggian Kemampuan, dan yang Maha Besar, tidak ada yang lebih mulia dan lebih agung, dari pada Allah, Dia meiliki keagungan Dzat dan Sifat.[26]


DAFTAR PUSTAKA


Al Barudi, Imad Zaki. Tafsir Wanita. Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar. 2010.
As-Sa’di, Abdurrahman Bin Nashir. Tafsir As-Sa’di. Jakarta: Pustika Musfiha. 1999.
Bakar, Bahrun Abu Dan Hery Noer Aly, Terjemahan Tafsir Al Maraghy. Semarang: Toha Putra. 1986.
Ghofar, Abdul. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta Timur: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2008.
Hasbi, Teungku Muhammad. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. Semarang: PT. Pustaka Riski Putra. 2000.
Surin, Bachtiar. Adz Dzikraa. Bandung: Angkasa, 1991.
Tamhid, Aunur Rofiq Shaleh. Pengantin Islam. Jakarta Timur: Al-I’tishom Cahaya Umat. 2007.




[1] Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di, Tafsir As-Sa’di (Jakarta : Pustika Musfiha, 1999), 76
[2] Bachtiar Surin, Adz Dzikraa (Bandung : Angkasa, 1991), 340
[3] Imad Zaki Al Barudi, Tafsir Wanita (Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, 2010), 311
[4] Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur (Semarang: PT. Pustaka Riski Putra, 2000), 846
[5] Imad Zaki Al Barudi, Tafsir Wanita, 311
[6] Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, Pengantin Islam (Jakarta Timur: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2007), 150
[7] Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, Pengantin Islam, 151
[8] Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuu, 403.
[9] Abdul Ghofar, Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta Timur: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), 156.
[10] Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di, Tafsir As-Sa’di, 76.
[11] Abdul Ghofar, Tafsir Ibnu Katsi,156.
[12] Bahrun Abu Bakar Dan Hery Noer Aly, Terjemahan Tafsir Al Maraghy (Semarang: Toha Putra, 1986), 42.
[13] Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di, Tafsir As-Sa’di, 77.
[14] Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, 405.
[15] Imad Zaki Al Barudi, Tafsir Wanita, 300.
[16] Imad Zaki Al Barudi, Tafsir Wanita, 408.
[17] Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di, Tafsir As-Sa’di, 76
[18] Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, 844.
[19] Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di, Tafsir As-Sa’di, 78.
[20] Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, 844.
[21] Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, 845.
[22] Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di, Tafsir As-Sa’di, 78.
[23] Bahrun Abu Bakar Dan Hery Noer Aly, Terjemahan Tafsir Al Maraghy, 48.
[24] Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, 845.
[25] Ibid.
[26] Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di, Tafsir As-Sa’di, 78.

1 komentar:

Posting Komentar