Proses Dan Keadaan Sosial Pada Masa Khulafaur Rosyidin

Proses Dan Keadaan Sosial Pada Masa Khulafaur Rosyidin

Peradaban islam ialah suatu perkembangan historis atau sejarah yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Dari pengertian tentang peradapan di atas, dapat dipaparkan beberapa hal yang termasuk dalam cakupan peradapan, yakni ; sistem pemerintahan ( politik ), keadaan masyarakat ( ekonomi, sosial. Agama, pakaian/makanan ) seni bangunan ( arsitektur ) serta ilmu pengetahuan yang menyangkut di dalamnya tentang pendidikan yang diperoeh oleh masyarakat ( sastra, seni baca tulis).
Dari beberapa pembahasan yang ada di dalam mata kuliah sejarah peadaban islam adalah sejarah sosial masyarakat pada masa khulafaur rosyidin. Dari pembahasan tersebut kami akan memfokuskan lagi pada pembahasan keadaan masyarakat pada masa khulafaurrosyidin. Maka dari itu, kami ingin mencoba mengulas dan mencari tahu bagaimana keadaan masyarakat pada masa khulafaurrosyidin pada makalah ini.

A.    Masa Abu Bakar al-Shiddiq (632-634 M)
1.      Pengangkatan abu bakar al-shiddiq
Sesudah Rosulullah wafat, kaum anshor menghendaki agar orang yang akan menjadi kholifah dipilih diantara mereka. Pada saat itu, Ali Bin Abi Tholib menginginkan agar beliaulah yang diangkat menjadi kholifah berdasarkan kedudukan beliau dalam islam, apalagi beliau adalah menantu dan karib nabi. Akan tetapi sebagian banyak dari kaum muslimin menghendaki Abu Bakar, maka dipilhlah beliau jadi kholifah.[1]
Sesudah abu bakar di angkat jadi kholifah, beliau berpidato. Dalam pidatonya itu di jelaskanya siasat pemerintahan yang akan beliau jalankan. Berikut ini kutipan beberapa prinsip-prinsip yang di ucapkanya dalam pidato tersebut, antara lain beliau berkata :
“Wahai manusia”  saya telah d angkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang terbaik di antaramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutlah aku, tetapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah” orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah, hingga aku dapat mengambil hak dari padanya, sedangkan orng yang kamu pandang lemah, saya pandang kuat, hingga saya dapat mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan rasulnya, tetepi apabila aku tidak menaati Allah dan rasulnya kamu tidak perlu menaatiku”.[2]

2.      Keadaan Sosial Masyarakat
Dalam bidang sosial ekonomi, kholifah abu bakar telah mewujudkan keadilan dan kesejahtraan social bagi rakyat. Untuk kemaslahatan rakyat ini, ia mengelola zakat, infaq, dan sedekah yang berasal dari kaum muslimin, ghonimah harta rampasan perang dan jizyah dari warga Negara non muslim, sebagai sumber pendapatan baitul mal. Penghasilan yang diperoleh dari  sumber-sumber pendapat Negara ini dibagikan untuk kesejahteraan para tentara, gaji para pegawai Negara, dan kepada rakyat yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan al-qur’an. Diriwayatkan bahwa abu bakar sebagai kholifah tidak pernah mengambil uang dari baitul mal. Karena menurutnya, ia tidak berhak sesuatu dari baitul mal umat islam. Oleh karenaitu, selama ia menjadi kholifah, ia tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari hari.[3]
Pada masa pemerintahannya, juga ada beberapa masyarakat yang tidak mau membayar zakat, diantaranya ada yang semata-mata karena kedengkilannya. Orang-orang ini memandang zakat sebagai suatu pajak yang dipaksakan, karena itu mereka tidak mau mematuhinya. Tetapi gologan terbesar dari mereka tidak mau membayar zakat adalah karena kesalahan mereka di dalam memahami ayat suci yaitu:
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا ...
“Ambillah sedekah dari pada harta mereka, buat pembersihkannya dan penghapusan kesalahannya.” (Q.S. At-Taubah : 103).[4]
Mereka mengira bahwa hanya nabi Muhammad sajalah yang berhak memungut zakat, karena beliaulah yang disuruh mengambil zakat pada ayat tersebut. Menurut paham mereka, hanya pemungutan yang dilakukan oleh nabi Muhammad sajalah yang dapat membersihkan dan menghapuskan kesalahan-kesalahan dari ayat suci tersebut. Maka abu bakar bemusyawarah dengan para sahabat dan kaum muslimin dan menentukan bahwa akan memerangi semua golongan yang menyeleweng dari kebenaran, biar yang murtad, maupun yang mengaku menjadi nabi, ataupun yang tidak mau membayar zakat, sehingga semuanya kembali kepada kebenaran, atau beliau gugur sebagai syahid dalam memperjuangkan kemuliaan agama Allah.[5]

B.     Masa Umar bin Khatthab (634-644 M)
1.       Pengangkatan Umar bin Khatthab
Umar merupakan salah seorang sahabat yang selalu dimintai pertimbangannya oleh rosulullah. Dia selalu berada didekat rosulullah untuk melindungi dan membela beliau dari bahaya yang menentangnya. Abu bakat telah menyaksikan percekcokan yang timbul dikalangan kaum muslimin demi rosulullah berpulang ke rahmatullah. Kehendak-kehendak dan keinginan-keinginan golongan yang bersimpang siur itu, nyaris menimbulkan perpecahan diantara umat islam.dalam beberapa hari sebelum abu bakar wafat, bala tentara sedang berkumpul bertempur dalam peperang yang paling sengit yang pernah dikenal dalam sejarah pada masa itu.[6]
Peperangan itu terjadi antara kaum muslimin disatu pihak melawan tentara Persia dan romawi dilain pihak. Pada data itu oleh abu bakar sudah terfikirkan, bahwa akan tumbul perselisihan dikalangan kaum muslimin, kalau merka ditinggalkan begitu saja, tidak ada kholifah yang akan mengatikan beliau. Berdasarkan pertimbangan tersebut, abu bakar menginginkan untuk menunjuk pengantinya, sesudah memudyawarahkan hal itu dengan kaum muslimin, dalam musyawarah itu dinyatakan bahwa dia akan menunjuk penggantinya siapa yang mereka sukai. Abu bakar mengemukakan Umar Bin Khottob sebagai calon. Karna menurut Abu Bakar, tidak ada pengganti yang pantas dan sesuai selain umar bin khottob. Penunjukan umar sebagai kholifah dilakukan abu bakar dengan menuliskan wasiat sebelum abu bakar wafat.[7]
2.      Keadaan Sosial Masyarakat
Untuk beberapa lama setelah beliau diangkat menjadi kholifah, Umar tetap mencari penghidupan dengan cara berdagang dan sepanjang hayatnya menjalani kehidupannya dengan penuh kesederhanaan. Dalam tradisi islam, dia merupakan tokoh terbesar pada masa awal islam setelah nabi Muhammad . dia menjadi idola bagi para penulis islam karena kesalehan, keadilan dan kesederhanaannya.[8]
Pada bidang pertanian, umar mengambil langkah-langkah khusus untuk meningkatkan hasil pertanian dengan cara manggali system irigasi. Ia juga memberlakuakan system tunjangan (pensiun) masa tua yang berbeda dengan segala system pension yang ada di dunia deewasa ini. Mereka yang cacat dan lemah fisik di beri tunjangan kesejahteraan dari dana baitul mal. Sekolah dan masjid banyak didirikan diseluruh penjuru kota provinsi.[9]
Selain itu, untuk menunjang kelancaran administrasi dan oprasional  tugas-tugas eksekutif, umar melengkapinya dengan beberapa dewan, diantaranya:
a.       Dewan Al Kharraj (perpajakan)
b.      Dewan Al Addats (kepolisisan)
c.       Dewan Al Nafi’at (militer)
d.      Baitul Mal (lembaga pembendaharaan negara)[10]
Sebagaimana Rosulullah. Dan Abu Bakar, kholifah umar juga sangat condong menanamkan semangat demokrasi secara intensif dikalangan rakyat, para pemuka masyarakat, dan para penjabat atau para administrator pemerintahan. Ia selalu mengadakan musyawaroh dengan rakyat untuk memecahkan masalah-masalah umum dan kenegaraan yang dihadapi. Ia tidak bertindak sewenang-wenang dan memutuskan suatu uurusan Negara muslim tanpa mengikutsertakan warga Negara,baik warga Negara muslim maupun non muslim.[11]

C.    Masa Utsman bin ‘Affan (644-656 M)
1.      Pengangkatan Umar bin Khatthab
Sebelum meninngal, umar telah memanggil tiga calon penggantinya, yaitu Utsman, Ali dan Sa’ad bin Abi Waqos. Seperti janji semula yang dikatakan oleh kholifah umar dalam pidato inagurasinya sebagai kholifah, dia telah membentuk dewan formatur yang bertugas memilih penggantinya kelak. Mereka berjumlah enam orang yaitu ali ustman sa’ad bin abi waqos, Abdurrahman bin auf, zubair bin awam dan tholhah bin ubaidillah. Mekanisme pemilihan kholifah ditentukan sebagai berikut
a.       Yang berhak mmenjadi kholifah adalah yang dipilih oleh anggota formatur dengan suara terbanyak.
b.      Apabila suara terbagi secara berimbang Abdullah bin umar yang berhak menentukannya.
c.       Apabila campur tangan Abdullah bin umar tidak diterima, calon yang dipilih oleh Abdurrahman bin auf harus diangkat enjadi kholifah. Kalau masih ada yang menentangnya, penentang tersebut hendaklah di bunuh.[12]
Langkah yang di tempuh oleh umar wafat adalah meminta pendapat kpada anggota formatur secara terpisah untuk membicarakan calon yang tepat untuk diangkat menjadi kholifah. Hasilnya adalah munculnya dua kandidat kholifah yaitu utsman dan ali. Ketika diadakan penjajakan suara diluar siding formatur yang dilakukan oleh Abdurrahman terjadi silang pemilihan yakni, ali dipilih oleh usman, dan usman dipilih oleh ali. Selanjutnya Abdurrahman bermusyawaroh dengan masyarakat dan sejumlah pembesar diluar anggota dewan formatur. Ternyata, suara di masyarakat terpecah menjadi dua, yaitu kubu bani hasyim yang mendukung ali dan kubu bani umayyah yang mendukung usman.[13]
Maka Abdurrahman mengadakan musyawarah dengan segenap lapisan kaum muslimin, begitu juga dengan para calon yang telah ditunujuk oleh umar dari permusyawaratan tersebut ia mengambil kesimpulan bahwa pendapat tertuju pada usman dan ali. Maka terpilihlah usman sebagai kholifah, karena usman lebih tua dari pada ali dan ia lebih tegas serta bijaksana dari ali.[14]
2.      Keadaan Sosial Masyarakat
Kholifah usman berbeda dengan kholifah sebelumnya, usman tidak memenuhi harapan semua golongan. Kepribadian usman tidak sekuat kholifah-kholifah terdahulu.  Usman tidak mampu menghindar dari kecenderungan nepotisme yang dilakukan oleh kelompok bani umayyah. Kholifah usman terlalu lemah dalam menghadapi tekanan para penasihatnya yang berasal dari bani umayyah. Kholifah usman yang diangkat atas dasar penunjukan yang bias tampil demokratis, ternyata tampil secara nepotism. Ketidak puasan masyarakat terhadap penampilan usman merata di seantero daerah kekuasaan islam. Lebih-lebih lagi ketika aisyah tidak mendukung atas keppemimpinan usman. Saudara sekandunga aisyah, Muhammad bin abu bakar juga berada dalam kelompok oposisi. Kkemudian terdengar pula berita dari daerah-daerah pendudukan, bahwa para amir juga tidak member dukungan kepada kepemimpinan usman.[15]
Tetapi, di sisi lain usman juga menghasilkan karya besar, yaiitu keberhasilannya melakukan kodifikasi qur’an yang diserahkan kepada zaid bin tsabit.karya ini merupakan karya besar karena melibatkan ratusan penghfal al qur’an maupun saksi pertama sejumlah ayat al-qur’an. Selain itu juga usman juga berhasil mempersatukan jumlah qiro’at yang ada menjadi 7 qiro’at yang dikenal dengan sebutan Qiro’ah As-Sab’ah.[16]

D.    Masa Ali bin Abi Thalib (656-611 M)
1.      Pengangkatan Umar bin Khatthab
Pengukuhan Ali menjadi kholifah tidak semulus pengukuhan tiga orang kholifah sebelumnya. Ali di ba’iat ditengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya ustman, atas pertentangan dan kekacauan serta kebingungan umat islam madinah. Sebab, kaum pemberontak mendatang para sahabat senior satu persatu yang ada di kota medinah seperti Ali Bin Abi Tholib, Tholhah, Zubair, Sa’ad Bin Abi Waqos Dan Abdullah Bin Umar Bin Khottob.agar bersedia menjadi kholifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum anshor dan muhajirin lebih menginginkan ali menjadi kholifah. Namun, ali menolak sebab ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawaroh dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat enior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa rakyat mengemukakan bahwa umat islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya ali bersedia diba’iat menjadi kholifah.[17]
2.      Keadaan Sosial Masyarakat
Yang pertama kali dilakukan oleh kholifah ali adalah menarik kembali tanah yang telah dibagikan oleh kholifah usman kepada kaum kerabatnya kepada kepemilikan Negara dan mengganti semua gubernur yang tidak disenangi rakyat.[18]
Kholifah ali dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil karena adanya pemberontakan dari sekelompok kaum muslimin sendiri.pemberontakan pertama dating dari thalhah dan zubair didikutinn oleh Siti Aisyah yang kemudian terjadi Perang Jamal yang terjadi pada 36 H / 656 M tanggal 9 desember.[19]
Setelah pemberontakan thalhah dan zubair selesai, muncul lagi persaingan antara dua kelompok, yakni antara pihak ali dan muawiyah. Persaingan ini kemudian memunculkan sebuah  peperangan yang dinamakan perang shiffin yang terjadi pada 37 H / 657 M. pada peperangan ini diakhiri dengan peristiwa tahkim (arbitrase).[20]
Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung ali, banyak pengikut ali yang gugur dan juga berkurang serta hilangnya sumber ekonomi dari mesir karena di kuasai oleh muawiyah menjadikan karisma khalifah menurun, sedangkan muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa ali untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah.[21]


DAFTAR PUSTAKA
Ali, K. 2003. Sejarah Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo.
Rofiq, Choirul. 2009. Sejarah Peradaban Islam. STAIN Ponorogo.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Su’ud, Abu. 2003. Islamologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Syalabi, A. 1997. Sejarah Dan Kebudayaan Islam. Jakarta : PT. Al Husna Zikra.





[1] A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam (Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1997), 226-227
[2] Ibid
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2008), 74
[4] A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 231
[5] A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 232
[6] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam (STAIN Ponorogo, 2009), 90-91
[7] A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 237-238
[8] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam,91
[9] K. Ali, Sejarah Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003), 172
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, 82
[11] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, 82
[12] Ibid, 87
[13] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, 88
[14] A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 268
[15] Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2003), 61
[16] Abu Su’ud, Islamologi, 62
[17] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, 93
[18] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, 96
[19] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam,101
[20] Ibid.
[21] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar